Kecelakaan F-27 dan Fast Food

Setelah Sukhoi Superjet-100, kali ini pesawat F-27 milik TNI AU jatuh di kompleks Halim Perdana Kusuma. Du pesawat jatuh, dan ada beda mencolok. Yang satu pesawat anyar, yang satu pesawat tua alias pesawat `berpengalaman`. F-27 diterima TNI AU dari Belanda tahun 1975-1976 artinya usianya sudah 37 tahun.

Selama mengamati pemberitaan, ada dua jawaban fast food yang diungkap ke publik. Kalau pesawat anyar, para `pakar` akan menyebut karena sistem canggih dan interaksinya dengan pilot. Kalau pesawat `berpengalaman` seperti F-27. `pakar` akan menyebut karena usia pesawat sudah tua. Mirip di bidang kedokteran, luka baru kasih obat merah, luka lama kasih salep.

Nah dalam konteks kecelakaan F-27, yang tergolong pesawat tua, apakah pesawat tua aman untuk terbang? Pertanyaan ini sebenarnya sulit dijawab. Tapi ada fakta bahwa merawat pesawat tua lebih mahal disbanding membeli pesawat baru. Ini ilustrasinya, Airbus A320 anyar harganya 50 juta dolar AS, sementara merawat pesawat tua butuh 4-9 juta dolar AS.

Fakta lain, dalam 10 tahun terakhir pesawat  DC-8 yang menjadi tulang punggung pesawat kargo di AS, tujuh pesawat rontok, sementara pesawat yang masuk Delta Airlines tahun 1956, 300 dari total produk DC-8 556 pesawat, 300 masih melayang di angkasa. Tujuh yang rontok tak berkait dengan usia pesawat.

 

Apakah ada gara-gara pesawat tua, lalu terjadi kecelakaan? Tentu saja ada. Yang terkenal menimpa  TWA nomor penerbangan 800 yang bertolak dari bandara JFK, pada 17 Juli 1996 ke Paris, dan meledak di udara. Peneyababnya, tangki bahan bakar di sayap pesawat tua itu. Penyelidikan oleh Boeing yang menelan biaya 32 juta dolar AS itu gagal menyimpulkan datangnya percikan api penyebab meledaknya tangki.

Pada 1988, Aloha Airlines Boeing 737 kehilangan bodi pesawat 18 kaki pada ketinggian 24.000 kaku. Penyebabnya, kelelahan metal. Ajaibnya hanya satu orang meninggal akibat kecelakaan itu. Kru berhasil mendaratkan pesawat itu. Penelitian lanjutan, juga menemukan korosi sebagai penyebab, karena pesawat itu mlendas dan sering terbang di area pantai.

Berapa probabilitas sebuah pesawat tua sepertyi TWA 800 dan Aloha Airlines mengalami kecelakaan? Seorang pengamat dirgantara menyatakan satu dibanding  100 juta. Sebaliknya pengamat itu balik bertanya, berapa probabilitas kecelakaan pesawat gres macam Boeing 777. Kalau menilik seperti Sukhoi bisa-bisa hitungan statisktiknya amburadul.  Statistik kecelakaan pesawat menurut FAA 70 persen akibat faktor manusia.

Namun, tidak ada kriteria tunggal yang dapat diterapkan dalam menentukan apakah pesawat harus dianggap sebagai ‘tua’. Usia pesawat tergantung pada berbagai faktor, seperti usia kronologis, jumlah siklus penerbangan, jumlah jam penerbangan, dll. Masalah lain yang harus dilakukan dengan mengevaluasi proses penuaan pesawat terbang adalah kenyataan bahwa setiap unit menua secara berbeda. Ada dua pendekatan dasar untuk mengelola proses penuaan. Metode pertama adalah dengan mengganti pesawat, yang kedua adalah perawatan pesawat terbang yang memadai.

Faktor manusia sebagai penyebab kecelakaan memang besar, tapi juga tidak bisa berdiri sendiri ada interaksi dengan hal lain misalnya, manusia-cuaca-teknologi, manusia-usia pesawat-atc dst. Nah jika manusia itu merujuk pada pilot, tampaknya banyak yang setuju bahwa sedikit uban di rambut pilot menjadi semacam garansi keamanan.

About satwiko

jurnalis yang senang keluyuran

Posted on Juni 21, 2012, in Uncategorized and tagged , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar